LENTERA MERAH — Dunia kedokteran Indonesia sedang bergolak, dengan nasib sejumlah dokter anak ternama kini menjadi perhatian nasional.
Salah satunya, dr Rizky Adriansyah SpA(K), dokter anak sekaligus Ketua Tim Penanganan Kembar Siam RS Adam Malik Medan, baru saja diberhentikan secara mendadak.
Pemecatan ini terungkap lewat unggahan Instagram dr Piprim B Yanuarso, Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), pada Jumat (2/5).
“FYI: dr Rizky Adriansyah SpA(K) yang menulis tentang mutasi saya beberapa hari lalu, barusan dipecat dari RS Adam Malik Medan. Zalim banget ini sih…tetap semangat ya @Rizky4dr,” tulis dr Piprim. Unggahan tersebut langsung menyulut kemarahan dan simpati dari banyak tenaga medis.
Ironisnya, dr Rizky bukanlah sosok sembarangan. Ia dikenal luas setelah memimpin operasi pemisahan bayi kembar siam Brian dan Drian di RS Adam Malik pada Oktober 2024—operasi kelima sejak rumah sakit tersebut berdiri.
Operasi itu melibatkan lebih dari 50 tenaga medis dari berbagai spesialisasi dan berlangsung selama 12 jam. “Ini kasus dengan dempet paling luas yang pernah kami tangani, dari dada atas hingga perut bawah,” ujar dr Rizky dalam konferensi pers pada 21 November 2024. Meski salah satu bayi, Drian, wafat pascaoperasi, kondisi Brian kini stabil dan sehat.
Pemecatan ini terjadi di tengah ketegangan antara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan kolegium, badan independen yang selama ini mengatur kompetensi dokter spesialis di Indonesia.
Banyak kalangan mencurigai bahwa langkah terhadap dr Rizky adalah buntut dari sikapnya yang membela kolegium agar tetap berada di bawah kendali organisasi profesi, bukan birokrasi pemerintah.
Sementara itu, mutasi yang menimpa dr Piprim sendiri telah lebih dulu menimbulkan tanda tanya. Sebagai pakar intervensi jantung anak dan pengajar tetap di fakultas kedokteran, ia dipindahkan dari RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) ke RS Fatmawati melalui surat yang diteken Dirjen Tenaga Kesehatan Azhar Jaya. Mutasi ini memicu reaksi keras karena dinilai sarat muatan politis.
“Saya yakin mutasi ini berkaitan dengan sikap IDAI yang menolak rencana pengambilalihan kolegium oleh Kemenkes. Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia (KIKAI) tetap harus berada di bawah organisasi profesi, bukan birokrasi,” demikian bunyi narasi yang viral di kalangan medis.
Pihak Kemenkes sendiri belum memberikan pernyataan resmi terkait pemecatan dr Rizky. Namun, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI, Aji Muhawarman, menjelaskan bahwa mutasi dr Piprim merupakan bagian dari rotasi tenaga medis di rumah sakit vertikal.
“Pemindahan dr Piprim dilakukan untuk memperkuat layanan kardiologi anak di RS Fatmawati yang kini hanya memiliki satu subspesialis dan segera pensiun,” ujarnya sebagaimana dilansir detikcom.
Aji menambahkan bahwa rotasi ini melibatkan total 12 dokter, dan menjadi bagian dari pengembangan rumah sakit pendidikan, termasuk untuk Fakultas Kedokteran UIN dan Universitas Indonesia.
Namun di balik alasan administratif, krisis ini menunjukkan retaknya kepercayaan antara tenaga kesehatan dan birokrasi negara.
Upaya integrasi kolegium ke dalam struktur pemerintahan dipandang berisiko mengikis otonomi profesi serta melemahkan kualitas pendidikan dan layanan medis spesialis.
Jika benar pemecatan dan mutasi ini dilatarbelakangi keberpihakan terhadap kolegium, maka masalah ini tak lagi sebatas keputusan manajerial.
Ini adalah persoalan fundamental: tentang kebebasan profesi, integritas ilmiah, dan arah masa depan dunia kedokteran Indonesia. ***